1.BERTUNANGAN
TAK ada yang menatapmu, aku meyakinkan
diriku sendiri. Tak ada yang
menatapmu. Tak ada yang menatapmu.
Tapi karena aku tidak pintar berbohong, bahkan pada diriku sendiri,
aku merasa
harus mengeceknya.
Sambil duduk menunggu lampu berubah hijau di depan salah satu dari
tiga
lampu merah kota ini, aku melirik ke kanan,di dalam minivan-nya, Mrs.
Weber
jelas-jelas berputar menghadapku. Matanya menghujam dalam-dalam ke
mataku.
dan aku bergidik, bertanya-tanya dalam hati mengapa ia tidak
cepat-cepat
memalingkan wajah atau terlihat malu. Bukankah tidak sopan menatap
orang?
Ataukah aturan itu tidak berlaku terhadapku? Lalu aku teringat bahwa
jendelajendela
mobil ini hitam pekat sehingga Mrs. Weber mungkin tidak menyadari
bahwa akulah yang berada di balik kemudi, apalagi mengetahui aku
memergokinya menatapku. Aku berusaha menghibur diri dengan kenyataan
ia
tidak benar-benar bermaksud menatapku, melainkan menatap mobil ini.
Mobilku. Ya ampun.
Aku melirik ke kiri dan mengerang. Dua pejalan kaki tertegun di
trotoar, tidak
jadi menyeberang gara-gara melongo. Di belakang mereka, Mr. Marshall
memandang ke luar etalase toko suvenir kecilnya dengan mulut
ternganga. Yah,
setidaknya ia tidak menempelkan hidungnya di kaca etalase. Belum.
Lampu berubah hijau dan, saking terburu-buru ingin kabur dari situ,
aku
menginjak pedal gas tanpa berpikir—seperti kalau aku menginjak pedal
gas truk
Chevy tuaku untuk menjalankannya.
Mesin meraung bagaikan macan tutul sedang berburu, dan mobil melesat
begitu cepat hingga tubuhku membentur jok berlapis kulit hitam dan
perutku
tertekan ke belakang.
"Arrgh!" seruku kaget sementara kakiku meraba-raba mencari
rem. Sambil
menenangkan diri kusentuh pelan pedal rem. Seketika mobil berhenti.
Aku tak berani melihat sekeliling untuk mengetahui reaksi orang-orang.
Kalau
tadi mereka bertanya-tanya siapa yang mengendarai mobil ini, sekarang
pertanyaan mereka pasti sudah terjawab. Dengan ujung sepatu
pelan-pelan
kusentuh pedal gas sedikit saja, dan mobil kembali melesat.
Aku berhasil sampai ke tujuan, yaitu pompa bensin. Kalau bukan karena
tanki
bensinku sudah nyaris kosong, aku tidak bakal pergi ke kota sama
sekali.
Belakangan aku sampai rela meninggalkan kesenangan dan kemudahan
hidup,
seperti Pop-Tarts dan tali sepatu, hanya karena tak ingin tampil di
depan umum.
Bergerak cepat seolah-olah sedang berlomba, aku membuka pintu tanki,
melepas penutupnya, memindai kartu, dan memasukkan slang ke tanki
hanya
dalam hitungan detik. Tentu saja tak ada yang bisa kulakukan untuk
membuat
angka-angka meteran pompa bergerak lebih cepat. Angka-angka itu
bergerak
lambat, seperti sengaja ingin membuatku kesal.
Walaupun matahari tidak terik—cuaca kelabu seperti yang biasa terjadi
di Forks,
Washington—aku tetap merasa ada lampu sorot diarahkan padaku, menarik
perhatian orang ke cincin yang melingkari jari manis kiriku. Di
saat-saat seperti ini,
ketika merasakan tatapan orang di punggungku, aku merasa seolah-olah
cincin itu
berpendar- pendar seperti lampu neon papan iklan: Lihat aku, lihat
aku.
Tolol memang minder begini, dan aku tahu itu. Selain ayah dan ibuku,
apa
peduliku bagaimana omongan orang tentang pertunanganku? Tentang mobil
baruku? Tentang diterimanya aku secara misterius di salah satu kampus
bergengsi? Tentang kartu kredit hitam mengilat yang terasa panas di
sakuku
sekarang ini?
"Yeah, masa bodoh dengan pikiran mereka," gerutuku pelan.
"Eh, Miss?" seorang pria memanggilku.
Aku berbalik, kemudian berharap tidak melakukannya.
Dua pria berdiri di sebelah SUV mewah dengan dua kayak baru diikat di
atapnya.
Tak satu pun dari mereka menatapku; keduanya melongo menatap mobilku.
Sejujurnya aku tidak mengerti. Tapi itu sebenarnya wajar, karena bisa
membedakan mana mobil yang bermerek Toyota, Ford, dan Chevy saja aku
sudah
bangga. Mobil ini memang hitam mengilat, mulus, dan keren, tapi tetap
saja
bagiku ini hanya mobil.
"Maaf mengganggu, tapi boleh tahu mobil apa yang kau kendarai
itu?" yang
jangkung bertanya. "Eh, Mercedes, bukan?"
"Benar," jawab laki-laki itu sopan, sementara temannya yang
lebih pendek
memutar bola mata mendengar jawabanku. "Aku tahu. Tapi aku
penasaran,
benarkah itu... Mercedes Guardian? Lelaki itu mengucapkan nama itu
dengan
sikap takzim.Firasatku mengatakan, lelaki ini pasti bisa bergaul akrab
dengan
Edward Cullen... tunanganku (sebenarnya tidak ada gunanya menyangkal
istilah
itu karena pernikahan toh akan dilangsung-kan beberapa hari lagi).
"Mobil itu
seharusnya belum tersedia di Eropa," sambung lelaki itu.
"Apalagi di sini."
Sementara matanya menyusuri lekuk-liku mobilku—di mataku kelihatannya
tak
ada bedanya dengan sedan-sedan Mercedes lainnya, tapi tahu apa sih
aku?—
sejenak aku memikirkan masalahku berkaitan dengan kata-kata seperti tunangan,
pernikahan, suami, dsb.
Rasanya aku tidak mampu menyatukan ketiga kata itu dalam benakku.
Di satu sisi, aku dibesarkan untuk mengerutkan kening pada gaun putih
mengembang dan buket bunga. Tapi lebih dari itu, aku benar-benar tidak
bisa
menyatukan konsep suami yang serius, terhormat, dan membosankan dengan
konsepku tentang Edward. Rasanya seperti menempatkan malaikat dalam
posisi
akuntan; aku tidak sanggup membayangkan Edward dalam peran yang paling
biasa mana pun.
Seperti biasa, begitu mulai memikirkan Edward, aku langsung
terperangkap
dalam fantasi-fantasi yang memusingkan. Lelaki tadi sampai harus
berdehamdeham
untuk menarik perhatianku; ia masih menunggu jawabanku tentang nama
dan asal-usul mobil ini.
"Aku tidak tahu," jawabku sejujurnya.
"Kau keberatan kalau aku berfoto dengan mobil ini?"
Butuh sedetik bagiku untuk memprosesnya. "Serius nih? Kau ingin
berfoto
dengan mobil ini?"
"Tentu—tidak ada yang bakal percaya kalau aku tidak punya
buktinya"
"Eh. Oke. Baiklah."
Dengan sigap kukembalikan slang bensin ke tempatnya lalu beringsut
masuk ke
kursi depan untuk bersembunyi, sementara si penggemar mobil
mengeluarkan
kamera canggih dari tas ranselnya. Ia dan temannya bergantian bergaya
di depan
kap mesin, kemudian mereka mengambil gambar bagian belakangnya juga.
"Aku rindu trukku," aku mengerang sendiri. Sangat, sangat
kebetulan—terlalu
kebetulan malah—trukku mengembuskan napas terakhirnya hanya beberapa
minggu setelah Edward dan aku menyepakati perjanjian kami yang berat
sebelah
itu, di mana salah satu detail kesepakatannya adalah bahwa Edward
diperbolehkan mengganti trukku kalau sudah rusak nanti. Edward
bersumpah ia
tidak melakukan apa-apa; trukku sudah menjalani kehidupan yang panjang
dan
penuh dan kedaluwarsa karena sebab-sebab alamiah. Menurut dia. Dan,
tentu
saja, aku tidak tahu bagaimana memverifikasi cerita itu atau bagaimana
membangkitkan trukku dari kematian. Mekanik favoritku...
Aku langsung menghentikan pikiran itu, menolak menyimpulkannya. Aku
mencoba menyimak suara kedua lelaki di luar, yang teredam badan mobil.
"...menerjang penyemprot api di video online, Catnya bahkan tidak
terkelupas."
"Jelas tidak. Dilindas tank saja tidak mempan kok. Tidak banyak
pasar untuk
mobil semacam ini di sini. Mobil ini dirancang untuk para diplomat
Timur Tengah,
pedagang senjata, dan gembong narkoba."
"Menurutmu cewek ini orang penting?" si pendek bertanya,
suaranya pelan.
Aku merunduk, pipiku merah padam.
"Hah," sahut si jangkung. "Mungkin. Entah apa yang
mungkin muncul di sekitar
sini sampai-sampai kau membutuhkan kaca tahan-misil dan bodi baja yang
sanggup menanggung beban hingga dua ribu kilogram. Pasti dia sedang
menuju
tempat lain yang lebih berbahaya."
Bodi baja. Bodi baja yang mampu menahan beban hingga dua ribu
kilogram. Dan
kaca tahan-misil? Keren. Apa yang terjadi dengan kaca antipeluru
biasa?
Well, setidaknya ini masuk akal—kalau selera humormu aneh.
Aku bukannya tidak mengira Edward akan memanfaatkan kesepakatan kami,
sengaja membuatnya berat sebelah agar ia bisa memberi jauh lebih
banyak
daripada yang ia terima. Aku setuju ia boleh mengganti trukku kalau
memang
perlu diganti, meskipun tidak menyangka momen itu akan datang begitu
cepat,
tentu saja. Ketika aku terpaksa mengakui trukku sudah berubah jadi
tugu
peringatan bagi Chevy klasik di pinggir jalan depan rumahku, aku tahu
mobil
pengganti pilihan Edward kemungkinan besar akan membuatku malu.
Menjadikanku fokus perhatian dan bisik-bisik. Untuk urusan itu
ternyata aku
benar. Tapi bahkan dalam imajinasi terliarku sekali-pun, aku sama
sekali tidak
mengira ia akan memberiku dua mobil.
Mobil "sesudah" dan "sebelum", begitu alasan
Edward waktu aku mengamuk.
Yang ini baru mobil "sebelum". Kata Edward, ini hanya mobil
pinjaman dan
berjanji akan mengembalikannya setelah pernikahan nanti. Semua itu
tidak
masuk akal bagiku. Sampai sekarang.
Ha ha. Karena aku manusia yang sangat rapuh, mudah celaka, sering
menjadi
korban kesialanku sendiri, rupanya aku membutuhkan mobil yang tak
mempan
dilindas tank agar tetap aman. Menggelikan. Aku yakin Edward dan
saudarasaudara
lelakinya kenyang menertawakanku di belakang punggungku.
Atau mungkin, mungkin saja, suara kecil
berbisik dalam benakku, itu bukan
lelucon, tolol. Mungkin Edward memang
benar-benar mengkhawatirkanmu. Ini
bukan pertama kalinya ia agak berlebihan
dalam usahanya melindungimu.
Aku mendesah.
Aku belum melihat mobil "setelah". Mobil itu tersembunyi di
balik selubung dan
diparkir di bagian paling ujung garasi keluarga Cullen. Aku tahu
kebanyakan orang
pasti sudah mengintip sekarang, tapi aku benar-benar tidak ingin tahu.
Mungkin mobil itu tidak dilengkapi bodi baja—karena aku tidak akan
membutuhkannya setelah bulan madu nanti. Tidak bisa mati hanyalah satu
dari
sekian banyak kelebihan yang kunanti-nantikan. Hal terbaik menjadi
anggota
keluarga Cullen bukanlah memiliki mobil mahal dan kartu kredit
mengesankan.
"Hei," seru si jangkung, menaungi matanya dengan tangan di
kaca mobil dan
berusaha mengintip ke dalam. "Kami sudah selesai. Terima kasih
banyak!"
"Sama-sama," sahutku, kemudian tegang saat menyalakan mesin
dan menginjak
pedal—dengan sangat pelan...
Tak peduli berapa kali aku bermobil pulang menyusuri jalan yang
familier ini,
aku masih saja belum sanggup mengabaikan selebaran-selebaran yang
kusam
oleh hujan itu. Setiap selebaran, dipancangkan ke tiang-tiang telepon
dan
ditempelkan di papan-papan penunjuk jalan, bagaikan tamparan keras di
wajah.
Ingatanku tersedot kembali ke pikiran yang tadi kuinterupsi. Aku tak
bisa
menghindarinya di jalan ini. Tidak dengan foto-foto mekanik favoritku
berkelebat
lewat dalam interval tertentu.
Sahabatku. Jacob-ku.
Poster-poster bertuliskan APAKAH ANDA MELIHAT PEMUDA INI? bukanlah ide
ayah Jacob. Tapi ide ayahku, Charlie, yang mencetak
selebaran-selebaran itu dan
menyebarkannya ke seluruh penjuru kota. Dan bukan hanya di Forks,
melainkan
juga Port Angeles, Sequim, Hoquiam, Aberdeen, dan kota-kota lain di
sepanjang
Semenanjung Olympic. Ia memastikan semua kantor polisi di negara
bagian
Washington dindingnya juga dipasangi poster yang sama. Di kantornya sendiri
ada
papan yang khusus diperuntukkan untuk menemukan Jacob. Papan yang
nyaris
kosong, membuatnya kecewa dan frustrasi.
Kekecewaan ayahku bukan hanya karena tidak adanya respons, Ia paling
kecewa
pada Billy, ayah Jacob—teman terdekat Charlie.
Ia kecewa karena Billy enggan terlibat dalam pencarian anaknya yang
berusia
enam belas tahun yang "kabur dari rumah". Kecewa karena
Billy menolak
memasang poster-poster di La Push, reservasi yang terletak di tepi
pantai, tempat
kediaman Jacob. Karena Billy sepertinya pasrah atas lenyapnya Jacob,
seakanakan
tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Karena ia berkata, "Jacob
sekarang sudah
dewasa. Dia akan pulang kalau memang sudah ingin pulang."
Dan ia frustrasi padaku, karena aku memihak Billy.
Aku juga tidak mau memasang poster-poster itu. Karena baik Billy
maupun aku
tahu di mana Jacob berada, bisa dibilang begitu, dan karena kami tahu
takkan ada
orang yang melihat pemuda ini.
Selebaran itu seperti biasa membuat kerongkonganku ter-cekat dan
mataku
memanas, dan aku senang Edward pergi berburu Sabtu ini. Kalau ia
melihat
reaksiku, itu hanya akan membuatnya merasa bersalah.
Tentu saja, ada ruginya juga ini hari Sabtu. Saat aku membelokkan
mobil pelanpelan
dan hati-hati memasuki jalan masuk rumahku, aku bisa melihat mobil
polisi
ayahku bertengger di halaman. Ia absen mancing lagi hari ini. Masih
merajuk soal
pernikahan rupanya,
Itu artinya aku tidak bisa memakai telepon di dalam. Padahal aku harus
menelepon...
Kuparkir mobilku di belakang "monumen" Chevy itu dan
mengeluarkan ponsel
yang diberikan Edward untuk keadaan darurat dari laci mobil. Aku
menghubungi
sebuah nomor, ibu jariku siap di atas tombol "end" saat nada
tunggu berbunyi.
Untuk jaga-jaga saja.
"Halo?" Seth Clearwater menjawab, dan aku mengembuskan napas
lega. Aku
terlalu pengecut untuk bicara dengan kakak-nya, Leah. Kalimat
"kubikin mampus
kau" bukan sekadar omong kosong kalau diucapkan oleh Leah.
"Hai, Seth, ini Bella."
"Oh, halo, Bella! Apa kabar?"
Tercekat. Begitu ingin mendapat kepastian. "Baik."
"Ingin tahu kabar terbaru?"
"Ternyata kau paranormal."
"Sama sekali tidak. Aku bukan Alice—hanya saja kau gampang
ditebak," canda
Seth. Di antara anggota kawanan Quileute di La Push sana, hanya Seth
yang
berani menyebut anggota keluarga Cullen dengan nama mereka, bahkan
membuat lelucon tentang colon adik iparku yang nyaris mahatahu Itu.
"Memang." Aku ragu sejenak. "Bagaimana
keadaannya?"
Seth mendesah. "Seperti biasa. Dia tidak mau bicara, walaupun
kami tahu dia
bisa mendengar kami. Dia berusaha untuk tidak berpikir secara manusia,
kau
tahu. Hanya mengikuti instingnya."
"Kau tahu di mana dia sekarang?"
"Di sekitar Kanada utara. Di provinsi mana persisnya, aku tidak
tahu. Dia tidak
terlalu memerhatikan garis batas antar-negara bagian."
"Ada tanda-tanda dia bakal..."
"Dia tidak mau pulang, Bella. Maaf."
Aku menelan ludah. "Baiklah, Seth. Aku toh sudah tahu jawabannya
sebelum
bertanya tadi. Boleh saja kan, berharap."
"Yeah. Perasaan kita semua sama kok."
"Terima kasih telah sabar menghadapiku, Seth. Aku tahu yang lain
pasti
mengecam sikapmu."
"Mereka memang bukan penggemar beratmu," Seth membenarkan dengan
nada riang. "Agak menyebalkan, menurutku. Jacob membuat
keputusannya
sendiri, kau membuat keputusanmu. Jake tidak menyukai sikap mereka
mengenainya. Tentu saja, dia juga tidak senang kau selalu menanyakan
kabarnya."
Aku terkesiap. "Lho, kusangka dia tidak mau bicara dengan
kalian?"
"Dia tidak bisa menyembunyikan semuanya dari kami, sekeras apa
pun dia
berusaha."
Jadi Jacob tahu aku khawatir. Aku tak yakin bagaimana perasaanku
mengetahui
hal itu. Well, setidaknya ia tahu aku tidak kabur begitu saja
menyongsong
matahari terbenam dan melupakannya sepenuhnya. Ia mungkin sempat
mengira
aku tega berbuat begitu.
"Kalau begitu sampai ketemu di... pernikahanku," kataku,
memaksa
mengucapkan kata-kata itu.
"Yeah, aku dan ibuku pasti datang. Baik sekali kau mengundang
kami."
Aku tersenyum mendengar nada antusias dalam suaranya. Walaupun
mengundang keluarga Clearwater sebenarnya ide Edward, aku gembira itu
terpikirkan olehnya. Senang rasanya ada Seth di sana—ia merupakan
penghubung, walaupun tipis, dengan best man-ku yang lenyap entah ke
mana.
"Tidak me-nyenangkan kalau tidak ada kau."
"Sampaikan salamku untuk Edward, oke?"
“Tentu.”
Aku menggeleng. Persahabatan yang terjalin antara Edward dan Seth
masih saja
membuatku terheran-heran. Namun itu bukti bahwa keadaan tidak harus
menjadi
seperti sekarang ini. Bahwa vampir dan werewolf bisa hidup
berdampingan,
terima kasih banyak, kalau mereka menghendakinya.
Tapi tidak semua orang menyukai ide ini.
"Ah," ujar Seth, suaranya naik satu oktaf. "Eh, Leah
pulang"
"Oh! Sudah dulu, ya!"
Hubungan langsung terputus. Aku meletakkan ponselku di jok dan
mempersiapkan mental untuk masuk ke rumah, tempat Charlie pasti sudah
menunggu.
Ayahku yang malang saat ini sedang banyak pikiran. Kabur-nya Jacob
dari rumah
hanya satu dari sekian banyak beban yang ditanggungnya. Ia juga sama
khawatirnya memikirkan aku, putrinya yang belum sepenuhnya dewasa,
yang
beberapa hari lagi akan menikah.
Aku berjalan lambat-lambat menembus gerimis, mengingat malam waktu
kami
memberitahunya...
***
Begitu mendengar suara mobil polisi Charlie mendekat, cincin itu
tiba-tiba
terasa sangat berat di jari manisku. Ingin rasanya kusurukkan tangan
kiriku ke
saku, atau mungkin menduduki-nya, tapi genggaman tangan Edward yang
dingin
dan erat membuatnya tetap di pangkuan.
"Berhenti bergerak-gerak, Bella. Ingatlah kau bukan hendak mengaku
telah
membunuh orang." "Mudah bagimu untuk bicara begitu."
Aku mendengarkan
suara mengerikan sepatu bot ayahku menapaki trotoar. Kunci-kunci
bergemerincing di pintu yang tidak dikunci. Suara itu mengingatkanku
pada film
horor saat si korban sadar ia lupa menyelot pintunya.
"Tenanglah, Bella" bisik Edward, mendengarkan detak
jantungku yang semakin
cepat.
Pintu dibuka hingga membentur dinding, dan aku tersentak seperti
ditampar.
"Hai, Charlie," seru Edward, sikapnya benar-benar rileks.
"Jangan!" protesku
pelan. "Apa?" Edward balas berbisik. "Tunggu sampai dia
menggantung pistolnya
dulu!" Edward terkekeh dan menyusupkan tangannya yang bebas ke
sela-sela
rambut perunggunya.
Charlie muncul dari sudut ruangan, masih mengenakan seragam, masih
bersenjata, dan berusaha tidak mengernyit waktu melihat kami duduk di
sofa dua
dudukan. Belakangan, ia berusaha keras untuk lebih menyukai Edward.
Tentu
saja,
Apa yang akan kami sampaikan ini jelas akan langsung membuatnya
berhenti
mencoba. "Hei. Ada apa.'"
"Ada yang ingin kami bicarakan," kata Edward, sangat tenang.
"Ada kabar baik."
Dalam sedetik ekspresi Charlie berubah dari keramahan yang dipaksakan
menjadi kecurigaan.
"Kabar baik?" geram Charlie, memandangku lurus-lurus.
"Duduklah, Dad."
Alis Charlie terangkat sebelah, memandangiku selama lima detik,
berjalan
sambil mengentakkan kaki ke kursi malas, lalu Duduk di ujungnya dengan
punggung tegak.
"Jangan tegang begitu, Dad," kataku setelah hening yang
menjengahkan.
"Semuanya beres."
Edward nyengir, dan aku tahu ia tidak menyukai istilah beres yang
kugunakan. Ia
sendiri mungkin akan menggunakan istilah baik-baik saja atau sempurna
atau
menyenangkan.
"Tentu, Bella, tentu. Kalau benar semuanya beres, lantas mengapa
keringatmu
besar-besar sebiji jagung begitu?"
"Aku tidak berkeringat," dustaku.
Aku mengkeret dipandangi begitu galak oleh ayahku, merapat pada
Edward, dan
tanpa sadar mengusapkan punggung tangan kananku ke dahi untuk
menghilangkan barang bukti. "Kau hamil!" Charlie meledak.
"Kau hamil, kan?"
Walaupun pertanyaan itu jelas-jelas ditujukan padaku, tapi tatapan
garangnya
sekarang tertuju kepada Edward, dan berani sumpah aku sempat melihat
tangannya bergerak hendak meraih pistol.
"Tidak! Tentu saja aku tidak hamil!" Ingin rasanya aku
menyikut rusuk Edward,
tapi tahu gerakan itu hanya akan membuat sikuku memar. Sudah kubilang
kepada
Edward, orang-orang pasti bakal langsung menyimpulkan begitu! Apa lagi
alasan
orang waras menikah di usia delapan belas tahun? (Jawaban Edward waktu
itu
membuatku memutar bola mata. Cinta. Yang benar saja.)
Kemarahan Charlie sedikit mereda. Biasanya memang sangat jelas
tergambar di
wajahku apakah aku berkata jujur, dan ia sekarang percaya padaku.
"Oh. Maaf,"
"Permintaan maaf diterima."
Lama tidak terdengar apa-apa. Sejurus kemudian baru aku sadar semua
orang
menungguku mengatakan sesuatu. Aku mendongak memandang Edward,
dicekam kepanikan. Tidak mungkin aku mampu bicara.
Edward tersenyum padaku, menegakkan bahu, dan berpaling pada ayahku.
"Charlie, aku sadar telah melakukannya dengan cara tidak lazim,
Secara
tradisional, seharusnya aku meminta izin dulu darimu. Aku tidak
bermaksud
kurang ajar, tapi karena Bella sudah mengiyakan dan aku menghargai
keputusannya, jadi alih-alih meminta izin padamu untuk melamarnya, aku
memintamu merestui kami. Kami akan menikah, Charlie. Aku mencintai
Bella
lebih daripada apa pun di dunia ini, lebih daripada hidupku sendiri,
dan—
ajaibnya—dia juga mencintaiku. Maukah kau merestui kami?"
Edward terdengar sangat yakin, sangat tenang. Dalam sekejap,
mendengarkan
keyakinan luar biasa dalam suaranya, aku seperti mengalami momen
pencerahan
yang sangat jarang terjadi. Aku bisa melihat, sekilas, bagaimana dunia
terlihat di
mata Edward. Selama satu detak jantung, kabar ini terasa sangat masuk
akal.
Kemudian mataku menangkap ekspresi Charlie, matanya kini tertuju ke
cincinku.
Aku menahan napas sementara wajah Charlie berubah warna—putih ke
merah,
merah ke ungu, ungu ke biru. Aku beranjak bangkit—tak yakin apa
sebenarnya
yang akan kulakukan; mungkin melakukan manuver Heimlich unik
memastikan ia
tidak tercekik—tapi Edward meremas tanganku dan bergumam, "Beri
dia waktu
sebentar" begitu pelan hingga hanya aku yang bisa mendengar.
Kali ini keheningan yang terjadi jauh lebih panjang. Kemudian,
berangsurangsur,
rona wajah Charlie kembali normal, bibirnya mengerucut, alisnya
berkerut; aku mengenali ekspresi perpikir keras-nya. Ia mengamati kami
lama
sekali, dan aku merasakan Edward merileks di sisiku.
“Kurasa aku tidak terlalu terkejut," gerutu Charlie. "Aku
suah tahu tak lama lagi
aku bakal harus menghadapi hal semacam ini."
Aku mengembuskan napas.
"Kau yakin tentang hal ini?" desak Charlie, memandangku
garang.
"Aku seratus persen yakin tentang Edward," aku menjawab
pertanyaan ayahku
dengan mantap.
"Tapi menikah? Mengapa harus terburu-buru?" Sekali lagi ia
mengamatiku
dengan curiga.
Terburu-buru karena semakin hari aku semakin mendekati sembilan belas
tahun, sementara Edward tetap dalam kesempurnaan usia tujuh belasnya,
seperti
yang terjadi selama sembilan puluh tahun ini. Dalam pandanganku,
kenyataan ini
memang tidak mengharuskan pernikahan, tapi itu harus dilakukan sebagai
akibat
dari kompromi rumit dan berbelit yang dibuat Edward dan aku hingga
akhirnya
sampai ke titik ini, menjelang transformasiku dari fana ke abadi.
Hal-hal ini tidak bisa kujelaskan kepada Charlie.
"Kami akan kuliah ke Dartmouth bersama musim gugur nanti,
Charlie" Edward
mengingatkan. "Aku ingin melakukannya, well, secara benar.
Begitulah caraku
dibesarkan." Edward mengangkat bahu.
Ia tidak melebih-lebihkan; masyarakat pada masa Perang Dunia I kan terbilang
kuno dalam hal moral.
Mulut Charlie mengerucut miring. Mencari sesuatu yang bisa didebat.
Tapi apa
lagi yang bisa ia katakan? Aku lebih suka kau hidup bergelimang dosa
saja? Ia kan
seorang ayah; ia tidak punya pilihan lain.
"Sudah kuduga ini bakal terjadi," gerutunya pada diri
sendiri, keningnya
berkerut. Kemudian, sekonyong-konyong, wajahnya mulus dan ekspresinya
tak
terbaca.
"Dad?" tanyaku waswas. Kulirik Edward, tapi aku juga tidak
bisa membaca
wajahnya, sementara ia mengawasi Charlie.
"Ha!" Charlie meledak. Aku terlonjak di kursiku. "Ha,
ha, ha!"
Kupandangi Charlie dengan sikap tak percaya waktu ia tertawa sampai
terbungkuk-bungkuk; sekujur tubuhnya berguncang hebat.
Kupandangi Edward, meminta penjelasan, tapi bibir Edward terkatup
rapat,
seolah-olah ia sendiri juga menahan tawa.
"Oke, baiklah," sergah Charlie, suaranya tercekik.
"Menikah-lah." Lagi-lagi
tawanya meledak, mengguncangnya. "Tapi..." "Tapi
apa?" tuntutku.
"Tapi kau sendiri yang harus memberitahu ibumu! Aku tidak mau
mengucapkan
satu patah kata pun kepada Renee! Itu tanggung jawabmu! Ia tertawa
terbahakbahak.
***
Aku berhenti dengan tangan memegang gagang pintu, tersenyum. Tentu,
waktu
itu kata-kata Charlie membuatku ngeri. Memberitahu Renee sama saja
artinya
dengan kiamat, pernikahan dini menduduki urutan lebih tinggi dalam
daftar
hitamnya dibandingkan merebus anak anjing hidup-hidup. Siapa yang bisa
meramalkan reaksinya? Aku sih tidak. Jelas bukan Charlie. Mungkin
Alice, tapi
ketika itu tak terpikir olehku untuk bertanya padanya,
"Well, Bella," kata Renee setelah dengan tersendat dan
terba-bata aku
mengucapkan kata-kata mustahil itu: Mom, aku akan menikah dengan
Edward.
"Aku sedikit kesal karena baru sekarang kau mengatakannya padaku.
Padahal
tiket pesawat yang dibeli mendadak itu kan mahal sekali. Oooh,"
omel-nya,
"Menurutmu gips Phil sudah dibuka belum ya, saat itu? Bisa jelek
foto-fotonya
nanti kalau dia tidak pakai tukse..."
"Tunggu sebentar, Mom." Aku menahan napas. "Apa maksud
Mom, baru
sekarang mengatakannya? Aku kan baru ber... ber..."—aku tak
sanggup memaksa
diriku mengucapkan kata bertunangan—"semuanyamemang baru
diputuskan hari
ini." Hari ini? Benarkah? Itu baru mengejutkan. Asumsiku..."
Mom berasumsi apa?
Kapan Mom berasumsi?" "Well, waktu kau datang mengunjungiku
bulan April
lalu, kelihatannya hubungan kalian sudah sangat serius, kalau kau
mengerti
maksudku. Kau tidak sulit dibaca, Sayang. Tapi aku tidak mengatakan
apa-apa
karena tahu itu tak ada gunanya. Kau mirip sekali dengan
Charlie." Renee
mendesah, pasrah. Begitu sudah memutuskan sesuatu, tak ada gunanya
lagi
mencoba membujukmu. Tentu saja, persis seperti Charlie, kau juga akan
memegang teguh keputusanmu."
Kemudian ia mengatakan hal terakhir yang tak pernah kusangka akan
keluar dari
mulut ibuku.
"Kau tidak melakukan kesalahan seperti aku, Bella. Kedengarannya
kau sangat
ketakutan, dan dugaanku, itu pasti karena kau takut padaku."
Renee terkikik.
"Takut pada apa yang akan kupikirkan. Dan aku tahu aku memang
banyak bicara
tentang pernikahan dan ketololan—dan aku tidak akan menarik
kata-kataku—tapi
kau perlu menyadari, hal-hal itu secara khusus berlaku untukku. Kau
sangat
berbeda dariku. Kau membuat kesalahanmu sendiri, dan aku yakin kau
juga akan
menyesali beberapa hal dalam hidupmu. Tapi kau tak pernah punya
masalah
dengan komitmen, Sayang. Peluangmu memiliki pernikahan yang langgeng
lebih
besar daripada kebanyakan orang berusia empat puluh tahun yang
kukenal," Lagilagi
Renee tertawa. "Anak remajaku yang separo baya. Untunglah, kau
sepertinya
menemukan pasangan yang berjiwa sama tuanya denganmu."
"Jadi Mom... tidak marah? Menurut Mom, aku tidak membuat
kesalahan
besar?"
"Well, tentu, aku berharap kau mau menunggu beberapa tahun lagi.
Maksudku,
memangnya aku sudah kelihatan cukup tua untuk jadi ibu mertua? Jangan
dijawab. Tapi ini bukan tentang aku. Ini tentang kau. Apakah kau
bahagia?"
"Entahlah. Aku seperti melayang keluar dari tubuhku sekarang
ini."
Renee terkekeh. "Dia membuatmu bahagia, Bella?"
"Ya, tapi..."
"Apakah kau akan menginginkan orang lain?" "Tidak,
tapi..." "Tapi apa?"
"Tapi apakah Mom tidak akan mengatakan omonganku ini seperti
remaja lain
yang mabuk kepayang sejak zaman kuno dahulu"
"Kau tidak pernah jadi remaja, Sayang. Kau tahu apa yang terbaik
untukmu."
Selama beberapa minggu terakhir, tak disangka-sangka Renee tenggelam
sepenuhnya pada urusan persiapan pernikahan. Berjam-jam ia habiskan
untuk
bertelepon-teleponan dengan ibu Edward, Esme—tak perlu ada
kekhawatiran
para besan takkan bisa berhubungan baik. Renee memuja Esme, tapi memang,
aku ragu ada yang bakal tidak memuja wanita yang akan menjadi calon
ibu
mertuaku itu.
Itu membuatku terbebas dari segala kerepotan mengurusi tetek-bengek
pernikahan. Keluarga Edward dan keluargaku mengurus segalanya tanpa
aku
harus ikut campur atau terlalu repot memikirkannya.
Charlie marah sekali, tentu saja, tapi yang asyik, ia bukannya marah
padaku.
Renee-lah yang jadi pengkhianat. Padahal ia berharap Renee bakal
menolak
rencanaku mentah-mentah. Apa yang bisa ia lakukan sekarang, bila
ancaman
utamanya— memmberitahu Mom—ternyata hanya ancaman kosong? Ia tidak
memiliki apa-apa, dan ia tahu itu. Akibatnya, kerjanya sekarang hanya
bermuram
durja sepanjang hari, menggerutu bahwa ia tidak bisa memercayai siapa
pun di
dunia ini...
"Dad?" panggilku sambil mendorong pintu depan. "Aku
sudah pulang." "Tunggu,
Bells, tetaplah di sana." "Hah?" tanyaku, otomatis
menghentikan langkah.
"Tunggu sebentar. Aduh, mati aku, Alice." "Alice?"
"Maaf, Charlie," sahut Alice,
suaranya melengking. "Bagaimana kalau begini?"
"Gawat."
"Kau baik-baik saja. Tidak gawat kok—percayalah pada-ku."
"Apa yang terjadi?" tuntutku, ragu-ragu di ambang pintu.
"Tiga puluh detik,
please, Bella" pinta Alice. "Kesabaranmu akan mendapat imbalan
setimpal."
"Hahhh," sungut Charlie.
Aku mengetuk-ngetukkan kaki, menghitung setiap ketukan. Belum sampai
hitungan tiga puluh, Alice sudah berseru, "Oke, Bella,
masuklah!"
Bergerak dengan hati-hati, aku memasuki ruang duduk.
"Oh," aku terperangah. "Aw. Dad. Dad kelihatan..."
"Tolol?" sela Charlie.
"Menurutku lebih tepat dibilang gagah!"
Charlie merah padam. Alice meraih sikunya dan memutar tubuh Charlie
pelanpelan
untuk memamerkan tuksedo abu-abu muda itu.
"Sudahlah, Alice. Aku kelihatan seperti idiot."
"Tidak ada orang yang kudandani pernah kelihatan seperti
idiot."
"Dia benar, Dad. Dad tampan sekali! Ada acara apa?"
Alice memutar bola mata. "Ini pengepasan terakhir. Untuk kalian
berdua."
Untuk pertama kali aku mengalihkan pandanganku dari Charlie yang elegan
ke
kantong gaun putih mengerikan yang diletakkan dengan hati-hati di
sofa.
"Aaaah."
"Pergilah ke tempat bahagiamu, Bella. Tidak butuh waktu lama
kok."
Aku menghirup napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Dengan mata
terpejam aku tersaruk-saruk menaiki tangga menuju kamarku. Aku
menanggalkan
pakaianku hingga tinggal pakaian dalam saja dan mengulurkan lenganku
luruslurus
ke depan.
"Kau bersikap seolah-olah aku hendak menyisipkan serpihan bambu
ke bawah
kukumu," gerutu Alice sambil mengikutiku masuk kamar. Aku
mengabaikannya.
Aku sedang berada di tempat bahagiaku.
Di tempat bahagiaku, seluruh kerepotan mengurusi pernikahan sudah
beres dan
berakhir. Sudah lewat. Sudah selesai dan dilupakan.
Kami sendirian, hanya Edward dan aku. Settingnya kabur dan terus
berubahubah—
mulai dari hutan berkabut ke kota yang dinaungi awan hingga malam di
antartika—karena Edward merahasiakan lokasi bulan madu kami untuk
memberiku kejutan. Tapi aku tidak begitu pusing memikirkan di mana
kami akan
berbulan madu. Edward dan aku akan bersama-sama, dan aku telah
memenuhi
kompromiku secara sempurna. Aku menikah dengannya. Itu yang paling
penting.
Tapi aku juga sudah menerima semua hadiahnya yang berlebihan dan telah
terdaftar, meski percuma, di Dartmouth College untuk musim gugur
nanti,
sekarang giliran Edward. Sebelum ia mengubahku menjadi vampir—kompromi
besarnya—ia punya satu syarat lagi yang harus dipenuhi.
Edward memendam semacam kepedulian obsesif tentang
pengalamanpengalaman
manusia yang akan kukorbankan, pengalaman-pengalaman yang ia
tidak ingin kulewatkan. Sebagian besar di antaranya—seperti prom,
misalnya—
terasa konyol bagiku. Hanya ada satu pengalaman manusia yang aku
khawatir tak
bisa kurasakan. Tentu saja itu justru satu-satunya hal yang Edward
harap akan
kulupakan sepenuhnya.
Masalahnya begini. Aku tahu sedikit tentang bagaimana jadinya aku
nanti kalau
sudah bukan manusia lagi. Aku sudah pernah melihat sendiri
vampir-vampir yang
baru lahir, dan aku sudah mendengar cerita tentang hari-hari pertama
yang liar
itu dari calon keluargaku. Selama beberapa tahun, ciri kepribadian
terbesarku
adalah dahaga. Dibutuhkan waktu cukup lama sebelum aku bisa menjadi
diriku
lagi. Dan bahkan saat sudah bisa mengendalikan diri, aku tidak akan
pernah bisa
secara persis merasakan apa yang kurasakan sekarang.
Manusia... dan mencintai dengan penuh gairah.
Aku menginginkan pengalaman yang utuh sebelum menukar tubuhku yang
hangat, rapuh, dan dipenuhi feromon ini dengan sesuatu yang indah,
kuat... dan
tak dikenal. Aku menginginkan bulan madu yang sesungguhnya bersama
Edward.
Dan, meski takut akan membahayakan diriku, ia setuju untuk mencoba.
Aku hanya samar-samar menyadari kehadiran Alice dan belaian bahan
satin di
kulitku. Saat ini aku tak peduli kalau-pun seantero kota
membicarakanku. Aku
tidak ambil pusing memikirkan kehebohan yang bakal kutimbulkan
sebentar lagi.
Aku tidak khawatir bakal tersandung cadarku yang panjang atau tertawa
mengikik
pada momen yang salah atau menikah terlalu muda atau menjadi tontonan
para
tamu atau bahkan mengkhawatirkan kursi kosong yang seharusnya diduduki
sahabatku.
Aku berada bersama Edward di tempat bahagiaku.
2. MALAM PANJANG
"Belum-belum aku sudah rindu padamu." "Aku tidak perlu
pergi. Aku bisa tetap
di sini..."
"Mmm."
Hening yang cukup panjang, hanya detak jantungku ber-talu-talu, desah
napas
kami yang tersengal, dan bisikan bibir kami yang bergerak dengan
sinkron.
Terkadang sangat mudah melupakan kenyataan aku sedang berciuman dengan
vampir. Bukan karena ia terkesan biasa-biasa saja atau mirip manusia—sedetik
pun aku takkan pernah melupakan bahwa aku mendekap seseorang yang
lebih
menyerupai malaikat daripada manusia—tapi karena ia memberi kesan
seakanakan
bukan masalah menempelkan bibirnya di bibirku, wajahku, leherku. Ia
mengaku sudah lama mampu mengatasi godaan yang dulu pernah ditimbulkan
darahku terhadap dirinya, bahwa bayangan akan kehilangan diriku telah
membuat gairahnya untuk mengisap darahku lenyap sama sekali. Tapi aku
tahu
bau darahku masih membuatnya nyeri—masih membakar kerongkongannya
seakan-akan ia menghirup api.
Aku membuka mata dan melihat matanya juga terbuka, menatap wajahku.
Rasanya tidak masuk akal setiap kali ia memandangiku seperti itu.
Seolah-olah
aku ini hadiah, bukan pemenang yang justru sangat beruntung.
Sesaat tatapan kami bertemu; matanya yang keemasan begitu dalam hingga
aku
membayangkan bisa memandang jauh hingga ke dalam jiwanya. Konyol
rasanya
bahwa kenyataan itu—eksistensi jiwanya—pernah dipertanyakan, walau-pun
ia
vampir. Ia memiliki jiwa yang paling indah, lebih indah daripada
pikirannya yang
brilian atau wajahnya yang rupawan atau tubuhnya yang indah.
Ia membalas tatapanku seolah-olah ia bisa melihat jiwaku juga, dan
seolah-olah
ia menyukai apa yang dilihatnya.
Tapi ia tidak bisa melihat ke dalam pikiranku, seperti ia bisa melihat
pikiran
orang lain. Entah mengapa bisa begitu, tak ada yang tahu—mungkin ada
yang
aneh dengan otakku yang membuatnya kebal terhadap hal-hal luar biasa
dan
menakutkan yang bisa dilakukan sebagian makhluk imortal. Hanya
pikiranku yang
kebal; tubuhku masih bisa dipengaruhi para vampir dengan kemampuan
yang
berbeda dengan Edward. Tapi aku benar-benar bersyukur pada entah
kelainan
apa yang membuat pikiranku tetap misterius. Memalukan sekali kalau
yang
terjadi justru sebaliknya. Kutarik lagi wajah Edward ke wajahku.
"Kalau begitu,
jelas aku akan tetap di sini," gumam Edward sejurus kemudian.
"Tidak, tidak. Ini kan pesta bujanganmu. Kau harus pergi."
Meski mulutku berkata begitu, jari-jari tangan kananku tetap meremas
rambutnya, dan tangan kiriku merengkuh pung-gungnya. Kedua tangannya
yang
dingin membelai wajahku.
"Pesta bujangan dirancang untuk orang-orang yang sedih karena
akan
meninggalkan masa lajangnya. Sedang aku justru bersemangat melepasnya.
Jadi
sebenarnya tak ada gunanya."
"Benar" Aku mengembuskan napas di kulit lehernya yang dingin
membeku.
Ini nyaris mirip dengan tempat bahagiaku. Charlie tidur nyenyak di
kamarnya,
jadi praktis kami hanya berduaan saja. Kami bergelung di tempat
tidurku yang
kecil, sebisa mungkin berpelukan erat, walaupun terhalang selimut
afghan tebal
yang kulilitkan di tubuhku bagai kepompong. Sebenarnya aku tidak suka
memakai
selimut, tapi bagaimana bisa bermesraan kalau gigi-gigiku bergemeletukan.
Charlie bakal curiga kalau aku menyalakan pemanas di bulan Agustus...
Setidaknya, walaupun aku terbungkus rapat oleh selimut, kemeja Edward
tergeletak di lantai. Sampai sekarang aku masih saja takjub melihat
betapa
sempurnanya tubuh Edward—putih, dingin, dan mulus seperti manner. Kini
tanganku membelai dadanya yang sekeras batu, mengelus permukaan
perutnya
yang datar, hanya mengagumi. Edward bergidik nyaris tak kentara, lalu
kembali
melumat bibirku. Edward mendesah. Napasnya yang wangi membelai wajahku.
Edward bergerak hendak menarik diri—itu respons otomatisnya setiap
kali ia
menganggap kami kelewat batas, reaksi refleksnya setiap kali ia
sebenarnya ingin
melanjutkan. Hampir sepanjang hidupnya, Edward menolak setiap jenis
kenikmatan fisik. Aku tahu mengerikan baginya mencoba mengubah
kebiasaan itu
sekarang.
"Tunggu," cegahku, mencengkeram pundaknya dan merapatkan
tubuhku.
"Dengan berlatih, semua akan sempurna."
Edward terkekeh. "Well, seharusnya sekarang kita sudah sempurna,
bukan? Apa
kau pernah tidur selama bulan lalu?"
"Tapi ini latihan terakhir" aku mengingatkan dia.
"Padahal kita baru melatih
beberapa adegan. Sekarang bukan saatnya untuk 'bermain aman'."
Kusangka Edward bakal tertawa, tapi ia tidak menyahut, tubuhnya
bergeming
oleh perasaan tertekan yang tiba-tiba menyergap. Warna emas di matanya
seolah
mengeras, dari cair menjadi padat.
Aku memikirkan kata-kataku, menyadari apa yang mungkin ia dengar di
dalamnya.
"Bella..." bisiknya.
"Jangan mulai lagi" tukasku. "Kesepakatan adalah
kesepakatan."
"Entahlah. Terlalu sulit berkonsentrasi bila kau bersamaku
seperti ini. Aku—aku
tidak bisa berpikir jernih. Aku takkan bisa menguasai diri. Kau bisa
terluka."
"Aku akan baik-baik saja."
"Bella..."
"Ssstt!" Aku menempelkan bibirku ke bibirnya untuk
menghentikan serangan
paniknya. Aku sudah pernah mendengar ini sebelumnya. Ia tidak boleh
berkelit
dari kesepakatan kami. Tidak setelah ia bersikeras agar aku menikah
dulu
dengannya.
Edward menciumku sejenak, tapi aku tahu pikirannya tak sepenuhnya
tertuju ke
sana lagi. Khawatir, selalu khawatir. Betapa akan sangat berbeda bila
ia tidak
perlu mengkhawatirkanku lagi. Apa yang akan dilakukan Edward di waktu
senggangnya? Ia harus mencari hobi baru.
"Bagaimana kakimu?" tanyanya.
Tahu yang ia maksud sebenarnya adalah perasaanku, aku menjawab,
"Panas
membara."
"Sungguh? Tak ada keraguan? Sekarang belum terlambat untuk
berubah
pikaran."
"Kau berusaha mencampakkanku, ya?"
Edward terkekeh. "Hanya memastikan, Aku tidak mau kau melakukan
hal-hal
yang tidak kauyakini."
"Aku yakin tentang kau. Yang lain-lain bisa kulalui."
Edward ragu-ragu, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah aku salah
omong
lagi.
"Apakah kau bisa?" tanyanya pelan. "Maksudku bukan
pernikahannya—itu sih
aku yakin pasti bisa kau lalui dengan baik walaupun kau gelisah
memikirkannya—
tapi sesudahnya... bagaimana dengan Renee, bagaimana dengan
Charlie?"
Aku menghela napas. "Aku akan merindukan mereka." Lebih
parahnya lagi,
mereka pasti akan rindu padaku, tapi aku tak ingin semakin menyulut
kekhawatiran Edward.
"Angela, Ben, Jessica, dan Mike juga."
"Aku juga akan merindukan teman-temanku" Aku ter-senyum
dalam gelap.
"Terutama Mike. Oh, Mike! Bagaimana aku bisa melanjutkan
hidupku?"
Edward menggeram.
Aku tertawa tapi kemudian berubah serius. "Edward, kita sudah
berkali-kali
membicarakan ini. Aku tahu pasti sulit, tapi inilah yang kuinginkan.
Aku
menginginkanmu, dan aku menginginkanmu selamanya. Seumur hidup saja
tidak
cukup bagiku."
"Membeku selamanya di usia delapan belas," bisik Edward.
"Itu impian setiap wanita," godaku.
"Tidak pernah berubah... tidak pernah bergerak maju."
Apa artinya itu?
Edward menjawab lambat-lambat. "Ingatkah kau waktu kita
memberitahu
Charlie bahwa kita akan menikah? Dan dia mengira kau... hamil?"
"Dan dia sempat berniat menembakmu," tebakku sambil tertawa.
"Akuilah—
walaupun hanya sedetik, dia pasti sempat mempertimbangkannya."
Edward tidak menyahut.
"Apa, Edward?"
"Aku hanya berharap... well, aku berharap kalau saja dia
benar."
"Hah?" aku terkesiap.
"Bukan sekadar kalau saja, malah. Tapi bahwa kita bisa memiliki
keturunan. Aku
tak suka merampas 'kemungkinan' itu darimu."
Aku terdiam beberapa saat. "Aku tahu apa yang kulakukan."
"Bagaimana kau bisa mengetahuinya, Bella? Lihat ibuku, lihat
adik-adik
perempuanku. Pengorbanan itu tak semudah yang kaubayangkan"
"Esme dan Rosalie toh baik-baik saja. Kalaupun kelak itu jadi
masalah, kita bisa
melakukan seperti yang dilakukan Esme—mengadopsi."
Edward menghela napas, kemudian suaranya berapi-api. "Itu tidak
benar! Aku
tak mau kau berkorban untukku. Aku ingin memberimu banyak hal, bukan
malah
mengambilnya darimu. Aku tidak mau mencuri masa depanmu. Seandainya
aku
manusia..."
Kubekap bibirnya dengan tanganku. "Kaulah masa depanku. Sekarang
hentikan.
Jangan muram lagi, atau kupanggil saudara-saudaramu untuk datang dan
menjemputmu. Mungkin kau memang membutuhkan pesta bujangan."
"Maafkan aku. Aku memang bermuram durja, ya? Pasti karena
gugup."
"Kau gugup karena akan menikah?"
"Bukan gugup seperti itu. Aku sudah menunggu selama seabad untuk
menikahimu, Miss Swan. Aku sudah tak sabar lagi menunggu upacara
pernikahan," Edward mendadak menghentikan kata-katanya. "Oh,
demi semua
yang kudus!"
"Ada apa?"
Edward mengertakkan giginya. "Kau tidak perlu memanggil saudara-saudaraku.
Rupanya Emmett dan Jasper takkan membiarkanku mangkir malam ini."
Kupeluk tubuhnya lebih erat lagi selama satu detik, kemudian
kulepaskan. Aku
tidak bakal bisa melawan keinginan Emmett. "Selamat
bersenang-senang"
Terdengar deritan di jendela—ada orang yang sengaja menggoreskan kuku
mereka yang sekeras baja di kaca agar timbul suara berderit yang
menegakkan
bulu kuduk. Aku bergidik.
"Kalau kau tidak juga menyuruh Edward keluar," Emmett—masih
tidak terlihat
dalam gelap—mendesis dengan nada mengancam, "kami akan masuk dan
menjemputnya!"
"Pergilah," aku tertawa. "Sebelum mereka menghancurkan
rumahku."
Edward memutar bola matanya, tapi bangkit berdiri dalam satu gerakan
luwes,
dan dengan cekatan mengenakan kembali kemejanya. Ia membungkuk dan
mengecup keningku.
"Tidurlah. Besok hari besar."
"Trims! Kata-katamu jelas membuat perasaanku semakin
tenang."
"Sampai ketemu di depan altar."
"Aku akan mengenakan gaun putih." Aku tersenyum karena
kata-kataku
terdengar sangat klise.
Edward terkekeh, menimpali, "Sangat meyakinkan." Kemudian ia
merunduk siap
melompat, otot-ototnya meregang seperti per. Ia lenyap—melompat keluar
dari
jendelaku dengan gerakan sangat cepat hingga mataku tak sanggup
mengikuti.
Di luar terdengar suara berdebum pelan, dan aku mendengar Emmett
memaki.
"Awas, jangan membuatnya terlambat," bisikku, tahu mereka
bisa mendengar.
Kemudian wajah Jasper mengintip di jendelaku, rambutnya yang berwarna
madu tampak keperakan tertimpa cahaya lemah bulan yang terhalang awan.
"Jangan khawatir, Bella. Kami akan membawa Edward pulang jauh
sebelum
waktunya."
Tiba-tiba saja aku merasa tenang, dan semua kegelisahanku terasa tidak
penting. Jasper, dengan caranya sendiri, sama berbakatnya dengan Alice
dengan
bukan masa depan, dan mustahil bisa menolak merasakan apa yang ia
ingin agar
kaurasakan.
Aku duduk dengan canggung, masih terbelit selimutku. "Jasper? Apa
yang
dilakukan vampir dalam pesta bujangan? Kau kan tidak membawanya ke
kelab
tari telanjang, kan?"
"Jangan beritahu dia," geram Emmett dari bawah. Terdengar
suara berdebam
lagi, dan Edward tertawa pelan.
"Tenanglah," kata Jasper—dan aku langsung merasa tenang.
"Kami keluarga
Cullen memiliki versi sendiri. Paling-paling hanya beberapa singa
gunung, atau
satu-dua ekor beruang grizzly. Hampir seperti malam-malam
biasanya."
Aku penasaran apakah aku akan bisa bersikap begitu sombong tentang
diet
vampir "vegetarian" seperti itu. Trims, Jasper.
Jasper mengedipkan mata dan lenyap dari pandangan. Sunyi senyap di
luar.
Dengkur teredam Charlie menembus dinding.
Aku berbaring di bantal, sekarang mengantuk. Dari balik kelopak mataku
yang
berat, kupandangi dinding-dinding kamarku yang kecil, putih pucat
dalam cahaya
bulan.
Malam terakhirku di kamarku. Malam terakhirku sebagai Isabella Swan.
Besok
malam, aku akan menjadi Bella Cullen. Walaupun pernikahan ini bagaikan
duri
dalam daging, namun harus kuakui aku senang mendengarnya.
Kubiarkan pikiranku berkelana sejenak, berharap kantuk akan
menguasaiku.
Tapi, setelah beberapa menit, aku malah merasa semakin siaga,
kegelisahan
kembali merayapi perutku, memilinnya dalam berbagai posisi tidak enak.
Kasur
terasa terlalu lembek, terlalu hangat tanpa Edward di sampingku.
Jasper berada
jauh sekali, dan perasaan damai serta rileks telah ikut lenyap
bersamanya.
Besok akan jadi hari yang sangat melelahkan.
Aku menyadari sebagian besar ketakutanku tolol—aku hanya perlu
menguasai
diri. Perhatian adalah bagian yang tak bisa dihindari dalam hidup. Aku
tidak selalu
bisa melebur dengan sekelilingku. Bagaimanapun, aku memiliki beberapa
kekhawatiran khusus yang sepenuhnya beralasan.
Pertama, soal ekor gaun pengantin. Alice jelas-jelas membiarkan selera
seninya
mengalahkan segi kepraktisan dalam hal itu. Rasanya mustahil bisa
menuruni
tangga rumah keluarga Cullen dengan sepatu hak tinggi dan gaun berekor
panjang. Seharusnya aku berlatih dulu.
Kemudian, masalah daftar tamu.
Keluarga Tanya, klan Denali, akan datang beberapa saat sebelum
upacara.
Bukan perkara mudah menyatukan keluarga Tanya dalam satu ruangan
dengan
tamu-tamu kami dari reservasi Quileute, ayah Jacob, dan keluarga
Clearwater.
Klan Denali tidak menyukai werewolf. Bahkan, saudara Tanya, Irina,
tidak bakal
datang ke acara pernikahan. Ia masih menyimpan dendam terhadap
werewolf
karena membunuh temannya, Laurent (yang waktu itu berniat membunuhku).
Gara-gara dendam itu pula, klan Denali lepas tangan dan tidak mau
membantu
keluarga Edward saat mereka sedang sangat membutuhkan bantuan. Namun
sungguh tidak disangka-sangka, persekutuan para vampir dengan serigala
Quileute justru berhasil menyelamatkan nyawa kami semua saat para
vampir
baru itu menyerang...
Edward berjanji padaku bahwa tidak berbahaya membiarkan klan Denali
berdekatan dengan para tamu dari Quileute. Tanya dan seluruh anggota
keluarganya—selain Irina—merasa sangat bersalah gara-gara persoalan
waktu itu.
Gencatan senjata dengan para werewolf hanyalah harga kecil yang harus
mereka
bayar atas pengkhianatan mereka waktu itu, dan mereka bersedia
membayarnya.
Itu masalah besarnya, tapi ada juga masalah kecil: kepercayaan diriku
yang
rapuh.
Aku belum pernah bertemu Tanya sebelumnya, tapi aku yakin pertemuanku
dengannya nanti tidak akan menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi
egoku. Dulu sekali, mungkin sebelum aku lahir, Tanya pernah mencoba
mendekati
Edward—bukan berarti aku menyalahkan dia atau orang lain karena
menginginkan Edward. Meski begitu, pilihannya adalah ia akan terlihat
cantik,
atau memesona. Walaupun Edward jelas-jelas—meski itu tidak bisa
dimengerti—
lebih memilih aku, tanpa bisa dicegah aku pasti akan membandingkan
diriku
dengannya.
Aku sempat menggerutu sedikit sampai akhirnya Edward, yang mengetahui
kelemahanku, membuatku merasa bersalah.
"Hanya kita yang bisa mereka anggap sebagai keluarga,
Bella," Edward
mengingatkanku. "Mereka masih merasa seperti yatim-piatu, kau
tahu, walaupun
sudah sekian lama."
Maka aku pun setuju, menyembunyikan kegelisahanku.
Tanya sekarang memiliki keluarga besar, hampir sebesar keluarga
Cullen.
Mereka berlima; Tanya, Kate, dan Irina, ditambah Carmen dan Eleazar
yang
bergabung dengan mereka hampir seperti Alice dan Jasper bergabung
dengan
keluarga Cullen, dipersatukan oleh keinginan mereka untuk hidup secara
lebih
beradab dibandingkan dengan vampir lain pada umumnya.
Walaupun jumlah mereka banyak, di satu sisi Tanya dan adik-adiknya
masih
sendirian. Mereka masih berduka. Karena dulu sekali, mereka juga
pernah punya
ibu.
Aku bisa membayangkan lubang yang ditinggalkan oleh kehilangan sebesar
itu,
bahkan walaupun seribu tahun telah berlalu; aku berusaha membayangkan
keluarga Cullen tanpa pencipta, inti, dan penuntun mereka—ayah mereka,
Carlisle. Aku tidak bisa membayangkannya.
Carlisle pernah menceritakan tentang riwayat hidup Tanya dulu, saat
aku
bermalam di rumah keluarga Cullen, belajar sebanyak mungkin,
mempersiapkan
diri sebisa mungkin untuk masa depan yang telah kupilih. Kisah ibu
Tanya
hanyalah satu dari sekian banyak kisah serupa, kisah yang
menggambarkan satu
dari sekian banyak aturan yang harus ku waspadai kalau nanti sudah
bergabung
dengan dunia imortal ini. Hanya satu aturan sebenarnya—satu aturan
yang
dipecah menjadi ribuan segi yang berbeda: Menjaga rahasia ini.
Menjaga rahasia berarti banyak hal—hidup tanpa menimbulkan kecurigaan
seperti keluarga Cullen, berpindah-pindah sebelum manusia di sekitar
mereka
curiga mengapa mereka tak pernah menua. Atau sekalian saja hidup
menjauh dari
manusia—kecuali saat tiba waktu makan—seperti yang dilakukan vampir
nomaden seperti James dan Victoria; seperti teman-teman Jasper, Peter
dan
Charlotte, yang sampai sekarang masih hidup, menjaga rahasia berarti
mengendalikan vampir-vampir baru yang kauciptakan, seperti yang pernah
dilakukan Jasper saat ia masih tinggal bersama Maria. Sesuatu yang
gagal
dilakukan Victoria terhadap vampir-vampir baru ciptaannya.
Dan itu juga berarti tidak menciptakan vampir baru sama sekali, karena
sebagian
vampir baru tidak bisa dikendalikan.
"Aku tidak tahu siapa nama ibu Tanya," Carlisle mengakui
waktu itu, matanya
yang keemasan, yang warnanya nyaris sama dengan warna rambutnya yang
terang, terlihat sedih mengingat kepedihan hati Tanya. "Kalau
bisa, sebisa
mungkin mereka menghindari berbicara tentang ibu mereka, tidak pernah
secara
sengaja memikirkannya"
"Wanita yang menciptakan Tanya, Kate, dan Irina—yang mencintai
mereka, aku
yakin—hidup bertahun-tahun sebelum aku lahir, pada masa terjadinya
wabah di
dunia kita, wabah munculnya anak-anak imortal."
"Apa yang dipikirkan vampir-vampir kuno itu dulu, aku sama sekali
tidak
mengerti. Mereka menciptakan vampir dari manusia yang bahkan masih
bayi."
Aku sampai harus menelan kembali cairan lambungku yang naik ke
tenggorokan
saat membayangkan cerita Carlisle.
"Mereka sangat menggemaskan," Carlisle buru-buru
menjelaskan, melihat
reaksiku. "Begitu memikat, begitu memesona, pokoknya tak
terbayangkan. Kau
takkan tahan untuk tidak mendekati dan menyayangi mereka; itu terjadi
secara
alamiah.
"Namun mereka tidak bisa dididik. Mereka membeku di tahap
perkembangan
yang mereka capai sebelum digigit. Bocah-bocah dua tahun menggemaskan
dengan lesung pipi dan ocehan*ttadel yang sanggup menghancurkan
setengah isi
desa ketika mereka mengamuk. Kalau lapar mereka makan, dan tak satu
pun kata
peringatan mampu menghalangi mereka. Manusia melihat mereka, kabar
beredar, ketakutan me-nyebar seperti api menjilati semak kering...
"Nah, ibu Tanya menciptakan satu anak seperti itu. Sama seperti
vampir-vampir
kuno lainnya, aku sama sekali tidak mengerti alasannya" Carlisle
menarik napas
dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Keluarga Volturi akhirnya
turun tangan,
tentu saja."
Seperti biasa aku bergidik mendengar nama itu, tapi tentu saja satu
legiun
vampir Italia—bangsawan menurut anggapan mereka sendiri—adalah inti
kisah
ini. Percuma saja ada hukum kalau tidak ada hukuman; dan tidak mungkin
ada
hukuman kalau tidak ada pihak yang menjatuhkannya. Tiga vampir tua,
Aro,
Caius, dan Marcus adalah pemimpin pasuk-an Volturi; aku pernah bertemu
mereka, tapi dalam pertemuan singkat itu, aku mendapat kesan bahwa
Aro,
dengan bakat luar biasanya membaca pikiran—sekali menyentuh saja, ia
akan
langsung tahu setiap pikiran yang pernah timbul dalam benak
seseorang—adalah
pemimpin utamanya.
"Keluarga Volturi mempelajari anak-anak imortal itu, baik di
kampung halaman
mereka di Volterra maupun di seluruh penjuru dunia. Caius memutuskan
anakanak
itu tidak akan bisa menjaga rahasia kita. Oleh karena itu, mereka
harus
dimusnahkan.
"Seperti kataku tadi, mereka menggemaskan. Well, beberapa
kelompok vampir
melawan dengan sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan—sampai
mereka
semua dikalahkan—untuk melindungi anak-anak itu. Pembantaian itu tidak
meluas seperti perang selatan di benua ini, tapi jumlah korbannya jauh
lebih
banyak. Kelompok-kelompok yang sudah lama terbentuk, tradisi lama,
temanteman...
banyak yang musnah. Akhirnya praktik itu benar-benar musnah hingga
ke akar-akar-nya. Anak-anak imortal tidak boleh lagi disebut-sebut,
dan menjadi
sesuatu yang tabu untuk dibicarakan.
"Waktu tinggal dengan keluarga Volturi, aku pernah bertemu dengan
dua anak
imortal, jadi aku melihat sendiri betapa menggemaskannya mereka. Aro
mempelajari anak-anak itu selama beberapa tahun setelah malapetaka
yang
diakibatkan mereka berakhir. Kau tahu sendiri watak Aro; dia berharap
anak-anak
itu bisa dijinakkan. Namun akhirnya keputusan bulat diambil: anak-anak
imortal
tidak diperbolehkan hidup."
Aku sudah lupa pada ibu Denali bersaudara ketika cerita kembali
padanya.
"Tidak jelas apa tepatnya yang terjadi pada ibu Tanya,"
cerita Carlisle. "Tanya,
Kate, dan Irina tidak tahu apa-apa sampai suatu hari keiuarga Volturi
datang
menemui mereka, ibu mereka, bersama ciptaan ilegal si ibu yang sudah
berada
dalam tawanan mereka. Ketidaktahuanlah yang menyelamatkan hidup Tanya
dan
saudari-saudarinya. Aro menyentuh mereka dan melihat bahwa mereka
benarbenar
tidak tahu apa-apa, jadi mereka tidak dihukum bersama ibu mereka.
"Tak seorang pun di antara mereka pernah melihat bocah lelaki itu
sebelumnya
atau pernah memimpikan keberadaannya, sampai hari itu, saat mereka
melihatnya dibakar dalam pelukan ibu mereka. Aku hanya bisa menduga
ibu
mereka sengaja merahasiakannya untuk melindungi mereka dari
kemungkinan ini.
Tapi mengapa sang ibu harus menciptakan bocah itu? Siapakah bocah itu,
dan apa
arti si bocah bagi si ibu, sampai menyebabkan dia nekat melanggar
batas yang
paling tidak bisa dilanggar? Tanya dan yang lain-lain tak pernah
mengetahui
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi mereka tidak bisa
meragukan
kesalahan ibu mereka, dan kurasa mereka tak pernah benar-benar
memaafkannya.
"Bahkan walaupun Aro sudah memastikan bahwa Tanya, Kate, dan
Irina tidak
bersalah, Caius tetap ingin mereka dibakar. Bersalah karena ada
hubungan.
Mereka beruntung Aro sedang ingin bermurah hati hari itu. Tanya dan
adikadiknya
dimaafkan, tapi ditinggalkan dengan hati terluka dan sangat
menghormati hukum.."
Aku tak tahu di mana persisnya ingatan itu berubah menjadi mimpi.
Sesaat aku
merasa seperti mendengarkan cerita Carlisle dalam ingatanku, menatap
wajahnya, dan sejurus kemudian aku sudah memandang ke padang tandus
kelabu
dengan bau dupa terbakar menyengat di udara. Aku tidak sendirian di
sana.
Sosok-sosok tubuh yang berkerumun di tengah padang, semua mengenakan
jubah kelabu, seharusnya membuatku ngeri—mereka tidak lain dan tidak
bukan
adalah keluarga Volturi, sementara aku, berlawanan dengan apa yang
telah
mereka perintahkan di pertemuan terakhir kami, masih manusia. Tapi aku
tahu,
seperti yang kadang-kadang kuketahui dalam mimpi, bahwa mereka tidak
bias
melihatku.
Di sekelilingku tampak bertebaran gundukan yang mengepulkan asap. Aku
mengenali bau wangi yang membubung di udara dan tidak memerhatikan
gundukan-gundukan itu lebih dekat lagi. Aku tak ingin melihat
wajah-wajah
vampire yang mereka eksekusi, setengah takut bakal mengenali seseorang
di
antaranya.
Prajurit-prajurit Volturi berdiri membentuk lingkaran mengitari
sesuatu atau
seseorang, dan aku mendengar suara-suara bisikan mereka meninggi oleh
kegelisahan. Aku beringsut mendekati jubah-jubah itu, terdorong oleh
mimpi
untuk melihat benda atau orang yang sedang mereka perhatikan dengan
begitu
cermat. Menyusup hati-hati di antara dua sosok jangkung berjubah yang
mendesis, akhirnya aku berhasil melihat objek yang sedang mereka
perdebatkan,
duduk di puncak bukit kecil di atas mereka.
Bocah lelaki itu tampan, menggemaskan, persis seperti yang digambarkan
Carlisle. Ia masih batita, mungkin baru dua tahun. Rambut ikalnya yang
cokelat
muda membingkai wajahnya yang mirip kerubim, dengan pipi bundar dan
bibir
penuh. Dan tubuhnya gemetar, matanya terpejam seolah-olah ia terlalu
takut
melihat kematian yang setiap detik semakin dekat.
Aku dilanda keinginan sangat kuat untuk menyelamatkan bocah tampan
yang
ketakutan itu sampai-sampai keluarga Volturi, dengan kekuasaannya yang
sanggup menghancuran, tak lagi berarti apa-apa bagiku. Aku menerobos
kerumunan, tak peduli kalaupun mereka menyadari kehadiranku. Begitu
lepas
dari kerumunan, aku berlari sekencang-kencangnya menghampiri bocah
lelaki itu.
Namun aku terhuyung-huyung dan berhenti berlari begitu bias melihat
dengan
jelas bukit tempat bocah lelaki itu duduk. Ternyata bukit itu tidak
terdiri atas
tanah dan bebatuan, melainkan tumpukan mayat manusia, kering dan tak
bernyawa. Terlambat untuk tidak melihat wajah-wajah mereka. Aku kenal
mereka
semua—Angela, Ben, Jessica, Mike… dan persis di bawah bocah
menggemaskan
itu tergeletak mayat ayah dan ibuku.
Bocah itu
membuka matanya yang cemerlang dan semerah darah.
3. HARI H
MATAKU mendadak terbuka.
Selama beberapa menit aku berbaring dengan sekujur tubuh
gemetar dan terengahengah di tempat tidurku yang hangat, berusaha melepaskan
diri dari cengkeraman mimpi. Langit di luar jendelaku berubah kelabu, kemudian
merah muda pucat sementara aku menunggu detak jantungku melambat.
Setelah sepenuhnya kembali ke dunia nyata di kamarku yang
berantakan dan familier, aku sedikit kesal pada diriku sendiri. Bisa-bisanya
aku bermimpi seperti itu di malam menjelang pernikahan! Itulah akibatnya kalau
terobsesi pada cerita-cerita seram di tengah malam.
Ingin mengenyahkan mimpi buruk itu jauh-jauh, aku bangkit
dan berpakaian, turun ke dapur padahal hari masih sangat pagi. Pertama-tama aku
membersihkan ruanganruangan yang sudah rapi, kemudian setelah Charlie bangun, membuatkannya
panekuk.
Aku terlalu tegang sehingga tidak bernafsu sarapan—aku hanya
duduk sambil bergerakgerak gelisah di kursiku sementara Charlie makan.
"Dad harus menjemput Mr. Weber jam tiga nanti!” aku
mengingatkan ayahku.
"Aku tak punya kegiatan lain hari ini selain menjemput
pendeta, Bells. Jadi tidak mungkin aku
melupakan satu-satunya tugasku." Charlie cuti satu hari khusus untuk
pernikahanku, dan ia gelisah seperti cacing kepanasan. Sesekali matanya
diam-diam melirik lemari di bawah tangga, tempat ia menyimpan peralatan
memancingnya, "Itu bukan satu-satunya tugas Dad. Dad juga harus berpakaian
rapi dan tampil tampan,"
Charlie mencemberuti mangkuk serealnya dan menggerutu,
mengucapkan kata-kata "baju monyet" dengan suara pelan.
Terdengar ketukan cepat di pintu depan,
"Baru begitu saja sudah Dad anggap berat," kataku,
meringis sambil bangkit berdiri.
"Sementara aku akan digarap Alice seharian."
Charlie mengangguk dengan sikap serius, menyimpulkan bahwa
"penderitaannya" lebih ringan
daripada aku. Aku membungkuk untuk mengecup puncak kepalanya sambil berjalan
lewat—wajah Charlie memerah dan ia menggeram—untuk membukakan pintu bagi
sahabat sekaligus calon adik iparku.
Rambut hitam pendek Alice tidak jabrik seperti biasa—
rambutnya disisir mengikal di sekeliling wajah mungilnya, tampak kontras dengan
ekspresinya yang resmi. Ia menyeretku keluar rumah dan hanya sempat menyapa
Charlie sekilas dari balik bahunya.
Alice memandangiku dengan saksama waktu aku naik ke
Porsche-nya.
"Oh, ya ampun, coba lihat matamu!" Ia
berdecak-decak dengan sikap mencela.
"Apa yang kaulakukan? Begadang semalam suntuk?"
"Hampir."
Alice melotot. "Aku tidak punya banyak waktu untuk
membuatmu tampil memesona, Bella—seharusnya kau menjaga 'bahan mentahnya' lebih
baik lagi,"
"Tak ada yang mengharapkanku tampil memesona. Menurutku
lebih gawat kalau aku tertidur saat upacara dan tidak bisa mengatakan saya
bersedia' pada saat yang tepat, kemudian Edward bakal kabur."
Alice tertawa. "Aku akan melemparimu dengan buketku
kalau kau sudah hampir
ketiduran."
"Trims."
"Setidaknya kau punya banyak waktu untuk tidur di
pesawat besok."
Aku mengangkat sebelah alis. Besok, renungku. Kalau kami
berangkat malam ini seusai resepsi, dan masih berada di pesawat besok... well,
berarti kami bukannya akan pergi ke
Boise, Idaho. Edward sama sekali menolak memberi petunjuk. Bukannya aku penasaran memikirkan misteri itu, tapi aneh
saja rasanya, tidak tahu di mana aku akan tidur besok malam. Atau kuharap tidak
tidur...
Alice sadar ia telah kelepasan bicara, dan keningnya
berkerut.
"Barang-barang bawaanmu sudah siap semua," katanya
untuk mengalihkan pikiranku.
Usahanya berhasil. "Alice, sebenarnya aku ingin
diperbolehkan mengepak barangbarangku sendiri!"
"Itu sama saja membocorkan rahasia."
"Dan melenyapkan kesempatanmu untuk shopping"
"Sepuluh jam lagi kau akan resmi jadi kakakku... jadi
sudah waktunya kau melupakan keenggananmu pada baju-baju baru."
Aku memandang garang dengan tatapan mengantuk ke luar kaca
jendela sampai kami hampir tiba di rumah. "Dia...sudah pulang belum?"
tanyaku.
"Jangan khawatir, pokoknya dia akan berada di sana
begitu musik mulai mengalun.
Tapi kau tidak boleh bertemu dengannya, tak peduli kapan pun
dia pulang nanti. Kita akan melakukan ini secara tradisional." Aku mendengus. "Tradisional!"
"Oke, kecuali mempelai pria dan wanitanya."
"Kau tahu dia sudah mengintip."
"Oh tidak—itulah sebabnya hanya aku yang pernah melihatmu
dalam gaun pengantin. Aku sangat berhati-hati untuk tidak memikirkannya kalau
sedang ada dia."
"Well" kataku saat mobil berbelok memasuki halaman.
"Ternyata kau memakai semua dekorasi wisudamu lagi." Jalan masuk
sepanjang hampir lima kilometer sekali lagi dihiasi ribuan lampu kecil
berkelap-kelip. Kali ini Alice menambahkan pira satin putih.
"Tak ada salahnya berhemat. Nikmatilah, karena kau
tidak boleh melihat dekorasi di dalam sampai tiba waktunya nanti." Ia
memasukkan mobil ke garasi yang besar dan luas di bagian utara rumah induk; Jeep
Emmett masih belum tampak.
"Sejak kapan mempelai wanita tidak dibolehkan melihat
dekorasinya?" protesku.
"Sejak si mempelai wanita menugaskan aku mengurus
semuanya. Aku ingin kau baru melihat semuanya saat berjalan menuruni
tangga."
Alice menutup mataku dengan tangannya sebelum mengajakku
masuk ke dapur. Bau itu langsung menyerbu indra penciumanku.
"Apa itu?" tanyaku penasaran saat Alice
membimbingku memasuki rumah.
"Berlebihan, ya?" Suara Alice mendadak waswas.
"Kau manusia pertama yang masuk ke sini; mudah-mudahan saja aku tidak
terlalu berlebihan,"
"Baunya enak sekali!" aku meyakinkan Alice—nyaris
memabukkan, tapi tidak berlebihan, bauran berbagai aroma yang berbeda terasa
halus dan mulus, "Orange blossoms... lilac„. dan bunga yang lain—betul,
kan?"
"Bagus sekali, Bella. yang tidak kausebut hanya freesia
dan mawar."
Ia tidak melepaskan tangannya dari mataku sampai kami berada
di kamar mandinya yang berukuran superbesar. Kupandangi konter kamar mandi yang
panjang, seluruh permukaannya dipenuhi berbagai pernak-pernik seperti di salon
kecantikan, dan mulai merasakan akibat kurang tidurku semalam.
"Apakah ini benar-benar perlu? Dipermak bagaimanapun,
aku akan tetap terlihat
biasa di samping Edward."
Alice mendorongku hingga terduduk ke kursi pink yang rendah.
"Tidak ada yang berani menyebutmu biasa setelah aku selesai memermakmu."
"Hanya karena mereka takut kau bakal mengisap darah
mereka," gerutuku. Aku bersandar di kursi dan memejamkan mata, berharap
bisa mencuri-curi tidur selama dirias.
Aku memang sempat terhanyut antara sadar dan tidak sementara
Alice sibuk memasker, mengampelas, dan mengilatkan setiap jengkal permukaan
tubuhku.
Selepas waktu makan siang, Rosalie melenggang melewati kamar
mandi dalam balutan gaun perak berpendar-pendar, rambut emasnya ditumpuk
menjadi mahkota lembut di puncak kepala. Ia begitu cantik sampai-sampai rasanya
aku kepingin menangis. Apa gunanya berdandan kalau ada Rosalie?
"Mereka sudah pulang," kata Rosalie dan seketika
itu juga perasaan meranaku yang kekanak-kanakan lenyap. Edward sudah pulang.
"Jangan sampai dia masuk ke sini!"
"Dia tidak bakal membuatmu kesal hari ini," Rosalie
menenangkan Alice. "Dia terlalu menghargai hidupnya. Esme menyuruh mereka
membereskan sesuatu di belakang.
“Kau butuh bantuan? Aku bisa menata rambutnya."
Mulutku langsung menganga. Saking kagetnya aku sampai lupa
menutup mulut.
Rosalie tak pernah menyukaiku. Dan, yang membuat hubungan
kami semakin buruk, ia secara pribadi sangat tidak menyetujui pilihan yang
kuambil sekarang. Walaupun memiliki kecantikan luar biasa, keluarga yang
mencintainya, dan Emmett sebagai belahan jiwanya, Rosalie rela menukar semua
itu demi bisa menjadi manusia. Tapi aku justru seenaknya mencampakkan semua yang
ia inginkan dalam hidup ini seolah-olah semua itu sampah. Itu membuatnya
semakin tidak menyukaiku.
"Tentu," jawab Alice enteng. "Kau bisa mulai mengepang
rambutnya. Aku ingin tatanan yang rumit. Cadarnya nanti dipasang di sini, di
bawah." Kedua tangannya mulai menyisir rambutku, mengangkat, memilin,
menggambarkan secara mendetail apa yang ia inginkan. Setelah ia selesai, tangan
Rosalie menggantikannya, membentuk rambutku dengan sentuhan sehalus bulu. Alice
kembali menekuni wajahku.
Setelah Rosalie selesai menata rambutku, ia disuruh
mengambil gaunku kemudian mencari Jasper, yang dikirim untuk menjemput ibuku
dan suaminya, Phil, dari hotel tempat mereka'menginap. Di lantai bawah
samar-samar aku bisa mendengar suara pintu membuka dan menutup berulang kali.
Suara-suara mulai terdengar oleh kami,
Alice menyuruhku berdiri supaya ia bisa mengenakan gaun itu
tanpa merusak tatanan rambut dan makeup-ku. Lututku gemetar sangat hebat saat
ia mengancingkan deretan panjang kancing mutiara di punggungku sampai-sampai
gaun satinku bergoyanggoyang seperti ombak di lantai.
"Tarik napas dalam-dalam, Bella," kata Alice.
"Dan cobalah tenangkan debar jantungmu. Bisa-bisa wajah barumu berkeringat
nanti."
Aku menampilkan ekspresi sarkastis terbaikku. "Akan
segera kulaksanakan "
"Aku harus berpakaian sekarang. Bisakah kau menahan
diri selama dua menit?"
"Eh... mungkin?"
Alice memutar bola matanya dan melesat keluar pintu.
Aku berkonsentrasi menarik napas, menghitung setiap gerakan
paru-paruku, dan memandangi pola-pola lampu kamar mandi yang terpantul di
gaunku yang berbahan mengilat, Aku takut melihat ke cermin—takut kalau-kalau
bayangan diriku dalam balutan gaun pengantin membuatku panik.
Alice sudah kembali sebelum aku sempat menarik napas dua
ratus kali, mengenakan gaun yang menuruni tubuh langsingnya bagaikan air terjun
keperakan.
"Alice—wow"
"Ini bukan apa-apa. Tak ada yang bakal melirikku hari
ini. Tidak bila aku berada satu ruangan bersamamu.”
“Ha ha,"
"Sekarang, kau bisa mengendalikan diri, atau aku perlu
menyuruh Jasper naik ke
sini?"
"Mereka sudah pulang? Ibuku sudah datang?"
"Dia baru saja melewati pintu. Dia sedang naik
kemari."
Renée datang dua hari yang lalu, dan sebisa mungkin aku
menghabiskan setiap menit bersamanya—dengan kata lain setiap menit yang tidak
ia habiskan bersama Esme dan deko-msinya. Sepanjang pengamatanku ia gembira
sekali, lebih daripada anak-anak yang dikurung di Disneyland selama satu malam.
Di satu sisi, aku hampir-hampir merasa dikhianati, sama seperti yang dirasakan
Charlie. Padahal aku sudah sangat ketakutan membayangkan reaksinya...
"Oh, Bella!" pekiknya sebelum tuntas melewati
pintu. "Oh, Sayang, kau cantik sekali! Oh, aku jadi kepingin menangis!
Alice, kau luar biasa! Kau dan Esme seharusnya membuka usaha wedding planner. Dari
mana kau mendapatkan gaun ini? Antiknya! Sangat anggun, sangat elegan. Bella,
kau seperti baru keluar dari film Austen." Suara ibuku rasanya datang duri
tempat yang agak jauh dan segala sesuatu dalam ruangan itu sedikit kabur.
"Idenya sungguh kreatif, merancang tema yang cocok dengan cincin Bella.
Romantis benar! Apalagi mengingat cincin itu sudah jadi
milik keluarga Edward sejak tahun seribu delapan ratusan!"
Alice dan aku bertukar pandang penuh konspirasi. Komentar
ibuku tadi sebenarnya melenceng jauh. Tema pernikahan sebenarnya bukan
dipusatkan pada cincinnya, melainkan pada Edward sendiri.
Terdengar suara deham parau dari ambang pintu.
"Renée, kata Esme sudah waktunya kau turun ke
bawah," kata Charlie,
" Well, Charlie, tampan sekali kau!" seru Renée
dengan nada yang terdengar nyaris shock, Mungkin karena itulah respons Charlie
jadi terdengar garing.
"Alice memermakku habis-habisan,"
"Benarkah sekarang sudah waktunya?" tanya Renée pada
dirinya sendiri, terdengar nyaris sama gugupnya dengan yang kurasakan.
"Cepat sekali waktu berjalan. Aku merasa pusing."
Berarti ada dua orang yang pusing.
"Peluk aku dulu sebelum aku turun" desak Renée.
"Hati-hati, jangan sampai ada yang robek"
Ibuku meremas pinggangku dengan lembut, lalu berputar ke
arah pintu, tapi setengah berputar lagi sehingga kembali menghadapku.
"Oh astaga, hampir saja aku lupa! Charlie, mana
kotaknya?"
Ayahku merogoh-rogoh sakunya beberapa saat, kemudian
mengeluarkan kotak kecil berwarna putih, yang ia berikan kepada Renée, Renée membuka
tutupnya dan mengulurkan kotak itu padaku,
"Something blue," kata Renée.
"Sekaligus something old. Itu milik Grandma Swan,"
Charlie menambahkan.
"Kami meminta seorang pengrajin perhiasan untuk
mengganti batunya dengan safir."
Di dalam kotak itu ada sepasang sirkam perak. Batu-batu
safir biru dirangkai membentuk desain bunga rumit di atasnya.
Kerongkonganku tercekat. "Mom, Dad... seharusnya tidak
perlu."
"Alice melarang kami melakukan hal lain," kata
Renée. "Setiap kali kami mencoba,
dia mengancam bakal mencabik-cabik leher kami."
Tawaku meledak.
Alice maju dan cepat-cepat memasang kedua sirkam itu di
rambutku, di bawah pinggiran kepang tebal. "Berarti sudah ada something
old dan somethîng blue" renung Alice, mundur beberapa langkah untuk
menggagumiku. "Dan gaunmu baru jadi tinggal ini —"
Ia melemparkan sesuatu padaku. Aku mengulurkan tangan, d.ui
garter putih tipis mendarat di telapak tanganku.
" Itu punyaku dan harus dikembalikan," kata Alice.
Pipiku memerah.
"Nah, sudah," kata Alice dengan nada puas.
"Sedikit warna—hanya itu yang kaubutuhkan. Kau sudah sempurna."
Sambil menyunggingkan senyum puas melihat hasil karyanya snudiri, ia berpaling
kepada kedua orangtuaku. "Renée, kau harus segera turun."
"Baik, Ma'am." Renée melambaikan ciuman jauh
untukku. Ia bergegas keluar pintu.
"Charlie, bisa tolong ambilkan buket bunganya,
please?"
Begitu Charlie keluar dari ruangan, Alice mencomot garter
itu dari tanganku, lalu menyusup masuk ke balik gaunku. Aku terkesiap dan
terhuyung saat tangannya yang dingin menyambar tungkaiku; disentakkannya garter
itu hingga terpasang di tempatnya.
la sudah berdiri lagi sebelum Charlie kembali dengan dua
buket berwarna putih. Aroma mawar, orange blossom, dan fnrsia menyergap lembut
hidungku.
Rosalie—musisi terbaik dalam keluarga selain Edward— mulai
memainkan piano di bawah. Canon gubahan Pachelbel. Aku mulai sesak napas.
"Tenanglah, Bells," Charlie menenangkan. Ia berpaling
gugup kepada Alice. "Dia terlihat agak pucat. Menurutmu dia bisa
menjalaninya atau tidak?"
Suara Charlie terdengar jauh sekali. Aku tidak bisa
merasakan kakiku.
"Harus bisa."
Alice berdiri tepat di depanku, berjinjit agar bisa menatap
tepat ke mataku, dan
mencengkeram pergelangan tanganku dengan tangannya yang
keras.
"Fokus, Bella. Edward menunggumu di bawah sana."
Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri agar tenang.
Alunan musik perlahan-lahan bermetamorfosa menjadi lagu
baru. Charlie menyenggolku. "Bells, kita harus segera mulai."
"Bella?" ujar Alice, masih terus menatapku.
"Ya," jawabku, suaraku mencicit. "Edward.
Oke." Kubiarkan Alice menarikku dari kamar, bersama Charlie yang memegangi
sikuku.
Musik terdengar lebih keras di lorong. Melayang ke atas
tangga bersama aroma sejuta bunga. Aku berkonsentrasi membayangkan Edward
berdiri menungguku di bawah agar bisa menggerakkan kakiku maju.
Musiknya familier, wedding marcb tradisional gubahan Wagner,
dengan improvisasi di sana-sini,
"Giliranku," seru Alice. "Hitung sampai lima
baru ikuti aku." Ia mulai berjalan menuruni tangga dengan langkah lambat
dan anggun. Seharusnya aku sadar, sungguh salah besar menjadikan Alice sebagai
satu-satunya pendampingku. Aku bakal terlihat sangat kikuk berjalan di
belakangnya.
Musik tiba-tiba menggema lebih megah dan anggun. Aku
mengenalinya sebagai pertanda bagiku untuk turun.
"Jaga jangan sampai aku jatuh, Dad," bisikku.
Charlie menarik tanganku yang melingkari lengannya dan menggenggamnya
erat-erat.
Melangkah satu-satu, kataku dalam hati saat kami mulai
menuruni tangga, seirama dengan tempo musik yang lambat.
Aku tidak mengangkat mataku sampai kedua kakiku aman
menjejak lantai dasar, walaupun aku bisa mendengar gumaman dan suara-suara
bergemersik para tamu begitu aku muncul. Darahku mengalir deras ke pipiku
mendengar suara ini; pasti aku akan dianggap sebagai pengantin yang wajahnya
merah padam.
Begitu kedua kakiku meninggalkan tangga yang rawan, aku
mencari Edward. Selama sedetik perhatianku sempat beralih ke bunga-bunga putih
yang menghiasi segala sesuatu yang tidak hidup, dengan hiasan pita-pita putih
lembut panjang, tapi aku mengalihkan mata dari kanopi sarat bunga itu dan
mengedarkan pandangan ke deretan kursi berlapis kain satin—pipiku semakin
memerah saat aku memandangi ke kerumunan wajah yang semuanya terfokus
padaku—sampai aku akhirnya menemukan dia, berdiri di depan lengkungan yang
berlimpah hiasan bunga dan pita.
Aku nyaris tidak menyadari kehadiran Carlisle yang berdiri
di sampingnya, dan ayah Angela di belakang mereka berdua. Aku tidak melihat
ibuku, padahal ia pasti duduk di deretan depan, atau keluarga baruku, atau para
tamu—mereka semua harus menunggu sampai nanti.
Yang kulihat hanya wajah Edward; wajahnya memenuhi mataku
dan menyarati pikiranku. Matanya lembut dan berkilauan bagai emas membara;
wajahnya yang sempurna nyaris tenang oleh kedalaman emosinya. Kemudian, saat
pandangan matanya bertemu dengan tatapan mataku yang memandangnya takjub, ia
tersenyum—senyum bahagia yang membuat napasku lercekat.
Tiba-tiba, genggaman Charlie di tanganku sajalah yang
membuatku tidak berlari menghambur sepanjang lorong.
Alunan wedding march terasa terlalu lambat sementara aku
berusaha menyamakan langkahku dengan iramanya. Untunglah, lorongnya sangat
pendek. Kemudian, akhirnya, akhirnya, sampai juga aku di sana. Edward
mengulurkan tangan. Charlie meraih tanganku dan, dalam tradisi yang sudah
berlangsung berabad-abad, meletakkannya di tangan Edward. Aku menyentuh
keajaiban kulitnya yang dingin, dan sampailah aku di tempat seharusnya aku
berada.
Janji setia kami sederhana, kata-kata tradisional yang sudah
diucapkan jutaan kali, meskipun belum pernah diucapkan oleh pasangan seperti
kami. Sebelumnya kami sudah meminta Mr, Weber untuk membuat perubahan kecil, la
bersedia mengganti kalimat "sampai maut memisahkan kami" dengan
kalimat lain yang lebih sesuai "selama kami berdua hidup".
Pada momen itu, saat pendeta mengucapkan bagiannya, duniaku,
yang sudah sekian lama jungkir-balik, kini seolah menjejak dalam posisi yang
benar. Aku melihat betapa tololnya aku karena selama ini takut pada
pernikahan—seakan-akan itu hadiah ulang tahun yang tidak diinginkan atau
pameran yang memalukan, seperti prom. Kutatap mata Edward yang memancarkan
sorot kemenangan, dan tahu bahwa aku juga menang. Karena tidak ada hal lain
yang berarti kecuali bahwa aku bisa bersama dengannya.
Aku baru sadar diriku menangis setelah tiba waktunya bagiku
untuk mengucapkan janji setia.
"Saya bersedia," berhasil juga akhirnya aku
mengucapkan janjiku dengan suara berbisik yang nyaris tidak terdengar,
me-ngerjap-ngerjap untuk menyingkirkan air mata agar aku bisa melihat wajah
Edward.
Ketika tiba giliran Edward bicara, kata-katanya berdentang
jernih dan bernada menang.
"Saya bersedia,''janjinya.
Mr. Weber menyatakan kami sah sebagai suami-istri, kemudian
kedua tangan Edward terangkat, merengkuh wajahku dengan hati-hati, seolah-olah
wajahku serapuh kelopak bunga putih di atas kepala kami. Aku berusaha mencerna,
walaupun air mata mengaburkan pandanganku, fakta indah bahwa sosok yang luar
biasa ini adalah milikku.
Mata emasnya menatapku seolah-olah ia juga ingin menangis,
seandainya hal itu tidak inustahil terjadi, la menurunkan kepalanya ke
kepalaku, dan aku berjinjit, mengulurkan kedua lenganku—sambil masih memegang
buket bunga—memeluk lehernya.
Ia menciumku dengan lembut dan mesra; aku langsung melupakan
para tamu, tempat ini, waktu, alasan... yang kuingat hanyalah bahwa ia
mencintaiku, menginginkan aku, dan bahwa aku miliknya.
Edward yang memulai menciumku, dan ia pula yang harus
mengakhirinya; aku menggelayut mesra padanya, tak memedulikan decakan dan
dehaman para tamu.
Akhirnya, kedua tangan Edward menahan wajahku dan ia menarik
wajahnya— terlalu cepat—dan menatapku. Di permukaan, senyumnya yang mendadak
terlihat geli, nyaris seperti mengejek. Tapi di balik semua itu, ada
kebahagiaan mendalam yang sama seperti yang kurasakan.
Para tamu bersorak, dan Edward memutar tubuh kami sehingga
menghadap ke arah teman-teman dan kerabat. Aku tak mampu mengalihkan
pandanganku darinya untuk melihat mereka.
Ibukulah yang pertama memelukku, wajahnya yang berlinang ait
mata adalah hal pertama yang kulihat waktu akhirnya aku berhasil juga
mengalihkan pandangan dari Edward, meski sebenarnya tidak ingin. Kemudian aku
diserahkan ke kerumunan para tamu, berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain,
hanya samar-samar mengenali orang yang memelukku, karena perhatianku terpusat
pada tangan Edward yang menggenggam erat tanganku. Namun aku mengenali
perbedaan antara pelukan hangat dari teman-teman manusiaku, serta pelukan
lembut dan dingin dari keluarga baruku.
Satu pelukan panas membara terasa berbeda dari yang
lain-lain—Seth Clearwater dengan gagah berani menerobos kerumunan para vampir
untuk menggantikan posisi teman werewolf-ku yang hilang.